A. Deelneming
Kata
Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata
menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian
dari deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu
orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut doktrin, deelneming menuerut
sifatnya terdiri atas:
a. Deelneming
yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai
sendiri-sendiri.
b. Deelneming
yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu
digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain.
KUHP tidak menganut pembagian
Deelneming menurut sifatnya. Deelneming diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP.
Yangmana pasal 55 KUHP berbunyi:
“(1) Dihukum
sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan, atau turuit melakukan perbuatan itu;
2. Mereka yang
dengan memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakaikekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, paksaan atau ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan
kesempatan, ikhtiar atau keterangan, sengaja membujuk agar perbuatan itu
dilakukan.
(2) Tentang
orang-orang yang disebut belakangan, hanyalah perbuatan yang dibujuk dengan
sengaja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”
Seadngkan
pasal 56 KUHP berbunyi
“Sebagai
pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang
dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan,
2. Mereka yang
dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.”
Berdasarkan rumusan kedua pasal
diatas, maka terdapat 5 peranan pelaku, yakni:
1 .
Pleger atau
dader (orang yang melakukan)
Mereka yang
termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya
sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain,
pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan
karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
2 .
Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan)
Untuk dapat
dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana
salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang
yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri
melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai
atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh
melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus
pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya
dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar
melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi
yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan.
Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa
dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh
mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana
diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
3 .
Medepleger atau mededader (orang yang turut
melakukan)
Untuk dapat
dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua
orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang
yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan",
karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak
pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan
persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan"
dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
4 .
Uitlokker (orang yang membujuk melakukan)
Secara
sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau
membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah
"menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya
sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara
memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan
keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan",
"orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap
mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya.
Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan
akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang
dibujuk sendiri.
5 .
Medeplichtige (orang yang membantu melakukan).
Membantu
melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Sebagai
pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang
dengan sengaja membantu saat kejahatan itu dilakukan.
2. Mereka yang
dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu.”
Dalam memahami
pasal 56 KUHP, perliu diperhatikan terlebih dahulu rumusan pasal 57 ayat (4)
KUHP yang berbunyi: “Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan
perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu
serta akibatnya.”
Yang dimaksud rumusan “dengan
sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan si pelaku untuk melakukan
perbuatan tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik
materiil atau immateriil. Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Mr. M.H.
Tirtaamidjaja yang menyatakan:
“....suatu bantuan yang tidak berarti tidak
dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata “membantu”, yaitu:
1.
Tolong.....,
2.
Penolong...., membantu, memberi songkongan.
Dengan demikian, perbuatan membantu
tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh
merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan,
pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.
B.
Samenloop
(Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana)
Yang dimaksud
dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana
oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi
pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum
dibatasi oleh suatu keputusan hakim.
Menurut ilmu
hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak
pidana, yaitu:
1)
Gabungan satu perbuatan / concursus idealis /
Eendaadse yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan
pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system absorbsi. Jadi
misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan
pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan
menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12
tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada
dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan
pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63
ayat (1), yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan
itu; dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang
paling berat.”
2)
Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling
ialah Perbuatan yang terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang
masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian yang erat antara
satu sama lainnya.
Mengenai
perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai
berikut:
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun
masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortegezette
handeling), maka hanya dikeakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang berat.
(2) Begitu juga hanya dikenakan satu aturan
pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata
uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3) Akan tetapi, jika orang melakukan
kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat 1, sebagai
perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih dari
Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, da
406.
Berdasarkan
rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a .
adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa
pelanggaran ataupun kejahatan;
b .
antara perbuatan yang satu dengan yang lain
terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan
berlanjut itu sendiri terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang
masing-masing adalah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu sama
lain. Jadi masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat, waktu dan
daluarsanya sendiri-sendiri.
Para ahli dan
demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan
tentang 3 syarat tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus
dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri
pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
1. harus ada satu keputusan kehendak
(wilsbesluit) si pembuat;
2.perbuatan-perbuatan
itu harus sama atau sejenis;
3. jangka waktu antara melakukan tindak
pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;
3)
Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis
/ Meerdaadse Samenloop ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan,
perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau
pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan
akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP
menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari
beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan
tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa
yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi
sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang
harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing
merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu
terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu
fakta-fakta tersebut. Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat
disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan
perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri
pokok dari perbarengan perbuatan.
Ø Adapun sistem
pemberian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Concursus
Idealis (pasal 63).
Menurut ayat 1
digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat.
2. Perbuatan
berlanjut (pasal 64).
Menurut pasal
64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu
aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman
pidana pokok yang terberat.
3. Concursus
Realis (pasal 65 s/d 71).
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam
pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan
ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat
ditambah sepertiga.
0 komentar:
Posting Komentar