Pages

Rabu, 23 Oktober 2013

RANGKUMAN DEELNEMING DAN SAMENLOOP


   A.     Deelneming
Kata Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian dari deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Menurut doktrin, deelneming menuerut sifatnya terdiri atas:
a. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri.
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain.
            KUHP tidak menganut pembagian Deelneming menurut sifatnya. Deelneming diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Yangmana pasal 55 KUHP berbunyi:
“(1) Dihukum sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turuit melakukan perbuatan itu;
2. Mereka yang dengan memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakaikekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, paksaan atau ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan, sengaja membujuk agar perbuatan itu dilakukan.
(2) Tentang orang-orang yang disebut belakangan, hanyalah perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”
Seadngkan pasal 56 KUHP berbunyi
“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan,
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
            Berdasarkan rumusan kedua pasal diatas, maka terdapat 5 peranan pelaku, yakni:
1 .      Pleger atau  dader (orang yang melakukan)
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
2 .      Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
3 .      Medepleger atau mededader (orang yang turut melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
4 .      Uitlokker (orang yang membujuk melakukan)
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
5 .      Medeplichtige (orang yang membantu melakukan).
Membantu melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu saat kejahatan itu dilakukan.
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”
Dalam memahami pasal 56 KUHP, perliu diperhatikan terlebih dahulu rumusan pasal 57 ayat (4) KUHP yang berbunyi: “Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta akibatnya.”
            Yang dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan si pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materiil atau immateriil. Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaja yang menyatakan:
 “....suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata “membantu”, yaitu:
1. Tolong.....,
2. Penolong...., membantu, memberi songkongan.
            Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.
   B.     Samenloop  (Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana)
Yang dimaksud dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.
Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:
   1)      Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system absorbsi. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63 ayat (1), yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling berat.”
    2)      Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling ialah Perbuatan yang terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian yang erat antara satu sama lainnya.
Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)   Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang berat.
(2)   Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3)   Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, da 406.
Berdasarkan rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a  .       adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran ataupun kejahatan;
b .      antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan berlanjut itu sendiri terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing adalah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu sama lain. Jadi masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat, waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.
Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 syarat tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
1.      harus ada satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
2.perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis;
3.      jangka waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;
   3)      Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu fakta-fakta tersebut. Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.
 Ø  Adapun sistem pemberian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Concursus Idealis (pasal 63).
Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.

0 komentar:

Posting Komentar