This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Rabu, 23 Oktober 2013

sertifikat wakaf

BADAN WAKAF INDONESIA



Pendirian BWI :
Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
      Tujuan dibentuknya BWI à untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional.
      Badan Wakaf Indonesia = à lembaga independen.

ü  Kedudukan BWI à di ibukota NKRI dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
ü  Pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat.
Tugas dan wewenang BWI :
    1. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
    2. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
    3. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
    4. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
    5. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
    6. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
  • BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
  • Dalam melaksanakan tugas, BWI juga memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.
Organisasi BWI :
Badan Wakaf Indonesia terdiri atas :
      Badan Pelaksana :
     merupakan unsur pelaksana tugas Badan Wakaf Indonesia.
     dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota, Susunan keanggotaannya ditetapkan oleh para anggota.
      Dewan Pertimbangan :
     merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI.
     dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Susunan keanggotaannya ditetapkan oleh para anggota.
Syarat jadi anggota BWI :
    1. warga negara Indonesia;
    2. beragama Islam;
    3. dewasa;
    4. amanah;
    5. mampu secara jasmani dan rohani;
    6. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
    7. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah; dan
    8. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional
  • Persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Keanggotaan BWI :
      Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
Masa Keanggotaan BWI :
      Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
      Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Agama.
      Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia
      Tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.
      Mengenai keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota BWI :
      Keanggotaan BWI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
      Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia.
      Tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota diatur dengan peraturan Badan Wakaf Indonesia.
Pembiayaan BWI :
      Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu biaya operasional.
Pertanggungjawaban BWI :
      Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas BBWI dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri.

      Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.

By: Fasihudin Arafat, S.H., S.H.I.

PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF


 Ø  Prinsip dalam UU.No 41/2004, Pasal 40 - 41 terhadap status harta benda yang telah diwakafkan
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
  1. dijadikan jaminan;
  2. disita;
  3. dihibahkan;
  4. dijual;
  5. diwariskan;
  6. ditukar; atau
  7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pengecualian :
Lihat Pasal 41
  1. Ketentuan dalam Pasal 40 huruf f (ditukar) dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
  2. Pelaksanaan ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
  3. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut (point 1), wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
  4. Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Prinsip dalam KHI, Pasal 225 Thdp Status Harta Benda Yang Telah Diwakafkan
      Pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan  atau penggunaan lain selain dari pada apa yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
      Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu  setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala KUA Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a)      karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b)      karena kepentingan umum.
Hukum Tukar Guling Wakaf
      Tukar guling wakaf dalam bahasa arab sering disebut dengan istibdal wakaf; yaitu menukar wakaf dengan sesuatu, baik wakaf itu dijual terlebih dahulu kemudian diganti dengan barang yang lain atau dipindah lokasinya.
      Masalah ini masih menjadi polemic di antara pengelola wakaf dan masyarakat. Karena perbedaan persepsi tentang hokum istibdal wakaf (tukar guling wakaf), padahal hokum ini telah dibahas kira-kira 10 abad yang lampau oleh para ulama’ 4 madzhab.
Menurut 4 madzhab
      Dalam perspektif mazhab Hanafiyah, hukum Istibdal adalah boleh. Landasan kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi yang menyertai praktik Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan mereka namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi manfaatnya yang terus berkelanjutan. ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق - (ج 14 / ص 396 ,
      Dalam kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H) menyatakan: ”jika barang wakaf sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan keuntungan lagi maka barang tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat Istibdal (penggantian) sebelumnya.” ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق - (ج 14 / ص 396 ,
Dalam perspektif mazhab Malikiyah
      pelaksanaan Istibdal tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik melarang tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid, kuburan atau jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat seperti perluasan. Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya.
      karena barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah rusak bila dibiarkan.
Dalam perspektif mazhab Syafi’i
      Sementara ulama Syafiiyah sangat hati-hati mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka tidak memperbolehkan tukar guling wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan dengan madzhab malikiyah yang membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah kekelan bentuk barang wakaf tersebut. Sehingga terkesan mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf.
Dalam perspektif mazhab Hambali
      madzhab Hambali lebih bersifat moderat (pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai Istibdal ini, mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk itu— maka kita telah menyia-nyiakan wakaf
Ibnu Qudamah berkata,
      إن الوقف إذا خرب وتعطلت منافعه، كدار انهدمت، أو أرض خربت وعادت مواتا ولم تمكن عماراتها، أو مسجد انتقل أهل القرية عنه، وصار في موضوع لا يصلى فيه، أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه في موضوعه، أو تشعب جميعه ولم تمكن عمارته ولا عمارة بعضه إلا ببيع بعضه، جاز بيع بعضه لتعمر به بقيته، وإن لم يكن الانتفاء بشيء منه بيع جميعه
                                                                                                                        (فتاوى ورسائل محمد بن إبراهيم آل الشيخ - (ج 9 / ص ۱٦١
Kesimpulan pendapat mereka
      Madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan sebagia ulama’nya melarang mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid dengan beberapa dalil.
الدليل الأول: ما روي من أن عمر بن الخطاب ـ رضي الله عنه ـ نقل مسجد الكوفة القديم إلى مكان آخر، وصار الأول سوقاً للتمَّارين، فهذا إبدال لِعَرَصَة المسجد·
الدليل الثاني: أن عمر وعثمان بنيا مسجد النبي صلى الله عليه وسلم على غير بنائه الأول، وزادا فيه، وكذلك المسجد الحرام، وهذا دليل لإبدال بنائه ببناء آخر·
،بالأرض ولألصقتها الكعبة لنقضت بجاهلية عهد حديثو قومك أن لولا >:لعائشة قال وسلم عليه الله صلى النبي أن من لصحيحين في ثبت ما:الثالث لدليل
بناء تغيير فيجوز ،الكعبة بناء غيَّر وسلم عليه اللهصلى النبي لكان الراجح المعارض فلولا ،<الناس منه يخرج وباباً ،منه الناس يدخل باباً :بابين لها ولجعلت
      ·الراجحة المصلحة لأجل ،صورة إلى صورة من الوقف
Pendapat Ibnu Taimiyah
      Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap bermaslahat dan pewakaf tidak mensyaratkannya.

المسائل الماردينية: ابن تيمية، ص 331، وما بعدها
By: Fasihudin Arafat, S.H., S.H.I

RANGKUMAN DEELNEMING DAN SAMENLOOP


   A.     Deelneming
Kata Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian dari deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Menurut doktrin, deelneming menuerut sifatnya terdiri atas:
a. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri.
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain.
            KUHP tidak menganut pembagian Deelneming menurut sifatnya. Deelneming diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Yangmana pasal 55 KUHP berbunyi:
“(1) Dihukum sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turuit melakukan perbuatan itu;
2. Mereka yang dengan memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakaikekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, paksaan atau ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan, sengaja membujuk agar perbuatan itu dilakukan.
(2) Tentang orang-orang yang disebut belakangan, hanyalah perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”
Seadngkan pasal 56 KUHP berbunyi
“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan,
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
            Berdasarkan rumusan kedua pasal diatas, maka terdapat 5 peranan pelaku, yakni:
1 .      Pleger atau  dader (orang yang melakukan)
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
2 .      Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
3 .      Medepleger atau mededader (orang yang turut melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
4 .      Uitlokker (orang yang membujuk melakukan)
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
5 .      Medeplichtige (orang yang membantu melakukan).
Membantu melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu saat kejahatan itu dilakukan.
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”
Dalam memahami pasal 56 KUHP, perliu diperhatikan terlebih dahulu rumusan pasal 57 ayat (4) KUHP yang berbunyi: “Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta akibatnya.”
            Yang dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan si pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materiil atau immateriil. Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaja yang menyatakan:
 “....suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata “membantu”, yaitu:
1. Tolong.....,
2. Penolong...., membantu, memberi songkongan.
            Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.
   B.     Samenloop  (Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana)
Yang dimaksud dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.
Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:
   1)      Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system absorbsi. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63 ayat (1), yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling berat.”
    2)      Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling ialah Perbuatan yang terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian yang erat antara satu sama lainnya.
Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)   Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang berat.
(2)   Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3)   Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, da 406.
Berdasarkan rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a  .       adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran ataupun kejahatan;
b .      antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan berlanjut itu sendiri terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing adalah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu sama lain. Jadi masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat, waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.
Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 syarat tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
1.      harus ada satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
2.perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis;
3.      jangka waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;
   3)      Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu fakta-fakta tersebut. Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.
 Ø  Adapun sistem pemberian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Concursus Idealis (pasal 63).
Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.